Dia ini adalah keajaiban intelektual bagi Indonesia. Jika kita sering diceritakan tentang perjuangan bersenjata dalam perang merebut kemerdekaan, baik melalui bambu runcing dan sarana fisik lainya, maka Bung Hatta ini adalah salah satu dari sedikit pejuang intelektual dalam memerdekakan Indonesia. Ketika masih usia muda dulu, semasa sekolah menengah atas, dia sudah terlibat aktif dalam dunia pergerakan. Jabatan sebagai Bendahara Umum dari sebuah organisasi legendaris, Jong Sumatra Bond, adalah bukti militansi Hatta muda.
Kemudian dia melanjutkan kuliah di Negeri Belanda. Menjadi Ketua Umum Perhimpunan Indonesia (PI). Jika dahulu, organisasi ini sebatas sebuah organisasi yang berorientasi pada kegiatan kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Belanda dan sekitarnya, maka di tangan Hatta, dkk. organisasi ini disulap menjadi sebuah organisasi pergerakan yang progresif lagi radikal. Berdua dengan Sutan Sjahrir, PI menjelma menjadi sebuah organisasi propaganda perjuangan rakyat Indonesia di Benua Eropa. Bahkan, Hatta tak sungkan untuk bekerja sama dengan berbagai Partai Politik (parpol) radikal di Belanda, agar realitas ketertindasan Bangsa Indonesia oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, tersampaikan dalam sidang-sidang Parlemen Belanda, dan menjadi agenda perjuangan tersendiri.
Berkat aksi, agitasi, dan propagandanya itu, Hatta menjadi salah satu pejuang anti-kolonialisme yang diakui dunia. Selama menempuh kuliah di Belanda, dia sudah berkali-kali ikut dan diundang sebagai pembicara maupun peserta diskusi pada event sidang, kongres, hingga seminar bertajuk anti-kolonialisme. Salah satunya, dia diundang untuk ikut sidang “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional” di Frankfurt, Jerman. Hatta ini satu angkatan dengan pejuang kemerdekaan lainnya dari dunia ketiga, seperti: Kwame Nkrumah dan Jawaharlal Nehru, yang keduanya adalah nama-nama besar di pentas akbar pergerakan intelektual dunia. Ide-idenya yang progresif, konsep ekonominya yang populis, kemudian sikap sederhananya, dan idealismenya, membuat namanya disandingkan dengan Mahatma Gandhi. Kawan-kawan Wartawan Jepang kala itu menjulukinya “Gandhi from Java”.
Selama kepemimpinan Hatta di PI, Hatta banyak menulis untuk beberapa surat kabar di Indonesia. Beberapa kali Hatta melakukan pendidikan politik, mengomentari situasi terkini pergerakan di Indonesia, dan juga melakukan analisis terhadap perkembangan konstelasi Dunia maupun di scoup Asia Pasifik, setelah menguatnya peran Jepang –yang Fasis- di Asia. Kegiatan tulis-menulis Hatta di surat kabar pergerakan nasional pada akhirnya mengundang Bung Karno untuk melakukan ‘polemik intelektual’ terhadapnya. Hatta dan Bung Karno sering melakukan perdebatan intelek di surat kabar dengan cara saling bertukar tanggap melalui tulisan. Temanya selalu seputar ‘masa depan pergerakan nasional’. Kemudian juga berkaitan dengan prinsip perjuangan dengan metode co dan non co. co atau maksudnya cooperatie adalah metode perjuangan dengan bekerja sama terhadap Pemerintahan Kolonial, sementara non co atau non cooperatie adalah metode perjuangan dengan menolak bekerja sama kepada Pemerintahan Kolonial. Hatta dan Bung Karno sama-sama menempuh garis non co, namun mereka memiliki perbedaan sudut pandang terhadap garis non co itu ketika tersiar kabar bahwa Hatta dicalonkan sebagai salah satu bakal anggota parlemen pada salah satu Parpol radikal di Belanda. Menurut Bung Karno, Hatta sudah tidak non co lagi, karena dia –jika menerima tawaran pencalonan itu- akan masuk ke sistem dan pada akhirnya berkolaborasi dengan pemerintahan Kolonial. Namun Hatta, dengan landasan ilmiah, membantah tuduhan itu dengan menjelaskan bahwa masuknya seseorang ke dalam parlemen, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah ‘kolaborasi’, karena perbedaan fungsi dasar antara pemerintahan sebagai eksekutif dan parlemen sebagai legislatif. Polemic intelektual ini berlangsung ‘panas’, namun mengedukasi masyarakat secara luas. Banyak sekali aktifis-aktifis pergerakan merasa di didik secara tak langsung dengan adanya polemic ini.
Move-move Hatta di Eropa yang begitu menggelisahkan Pemerintahan Kolonial, membuat gerak-gerik Hatta,dkk. selalu diamati oleh Dinas Intelejen Belanda. Hatta, bersama rekan pergerakannya yang lain di PI, Yakni Nazir Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Majid Djojohadiningrat, ditangkap oleh Pemerintahan Belanda atas tuduhan “opruiing, menghasut” , aktifitas mereka dinilai menentang Kerajaan Belanda, dan mereka ditahan pada 25 September 1927.
Tentu saja Hatta menolak takluk. Bersama rekan pengacaranya, yang kesemuanya penduduk Belanda asli –pengacara Bung Hatta berinisiatif melakukan pembelaan kepada Hatta, dikarenakan simpati mereka terhadap perjuangan Indonesia yang begitu tulus, salah satu pembela Hatta adalah anggota parlemen, bernama J.E.W. Duys-. Hatta menyusun pidato pembelaannya (pledoii) yang diberi judul “Indonesia Merdeka, Indonesie Vrij” ditulis dengan bahasa Belanda. Sebuah pembelaan yang memukau dunia, dikarenakan dengan pledoii itu Hatta ‘menelanjangi’ dosa-dosa Pemerintahan Belanda, sekaligus mengkritisi konsep kolonialisme secara ilmiah. Pada akhirnya Hatta dan kawan-kawan dibebaskan karena tuduhan itu tidak terbukti. Belakangan, teks “Indonesie Vrij” tersebut menjadi bacaan wajib bagi kaum pergerakan di Indonesia, terutama kader-kader PNI Baru (organisasi besutan Hatta dan Sjahrir di Indonesia).
Selama hampir dua decade Hatta menempuh studinya di Belanda, pada akhirnya Hatta menyelesaikan disertasinya dengan sangat baik, bahkan selama sidang disertasi itu berlangsung, Hatta dibikin bingung dan bertanya-tanya, sebab para Professor yang menyidang hatta terkesan ‘tidak serius’ terhadap dirinya, namun sebenarnya hal itu dilatar belakangi karena para Professor itu sudah mengetahui siapa Hatta sebenarnya, dan bagaimana aktifitas politik Hatta selama ini. Lagi pula, pledoii Hatta sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti kematangan Hatta dalam mengkompilasikan ilmu ekonomi degan realitas politik kontemprer.
Situasi pergerakan nasional yang rawan –setelah semua tokoh pergerakan diintenir oleh Pemerintahan Kolonial- dan hal itu dianggap sebagai strategi Pemerintahan Kolonial untuk memisahkan tokoh pergerakan dari rakyatnya (massa aksi), membuat Hatta dan Sjahrir memutuskan untuk kembali ke tanah air, dan memimpin pergerakan yang kian terseok-seok. Kembalinya Hatta ke tanah air mendapatkan sambutan yang ramai dari kawan-kawan pers tanah air dan juga pers luar. Namun, dibalik sambutan itu, Hatta sudah menyadari bahwa itu adalah bagian dari strategi Pemerintah untuk menjadikan Hatta sebagai Target Operasi (TO). Tanpa membuang waktu, Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI Pendidikan (Pendidikan Nasional Indonesia) yang berorientasi pada sistem pengkaderan (kualitas). Berdirinya PNI Pendidikan ini adalah respon dari bubarnya PNI (Partai Nasional Indonesia) besutan Soekarno. Bahkan, kata-kata ‘pendidikan’ pada organisasi yang didirikan Hatta (PNI Pendidikan) adalah antithesis dari metode perjuangan Bung Karno yang hanya berorientasi pada ketokohan dirinya, dan mengabaikan metode kaderisasi terhadap rakyat, sehingga, ketika tokoh pergerakan ditangkap, rakyat kehilangan arah kemudian berujung pada matinya pergerakan nasional secara perlahan-lahan.
Menurut Hatta, Bung Karno memanglah seorang tokoh sentral pergerakan nasional saat itu. bahkan, Bung Karnolah satu-satunya tokoh pergerakan yang mampu menggerakkan hati rakyat. setiap pidato-pidatonya dipadati banyak orang. Organisasinya diekori ribuan orang, dan simpatisannya tersebar di banyak tempat. Namun, bagi Hatta, agitasi, orasi dan propaganda saja tidaklah cukup. Karena hal tersebut sebatas gerakan penyadaran. Rakyat harus diberi lebih dari itu, yakni sebuah pendidikan. Pendidikan yang dilakukan secara sistematis agar rakyat itu secara perlahan bermetamorfosa menjadi calon-calon pemimpin baru, yang ketika pemimpin-pemimpin utamanya dibuang, maka mereka datang dan memikul tugas kepemimpinan untuk melanjutkan jalan perjuangan. Jadi bagi Hatta, pendidikan yang berorientasi kepada kepemimpinan (kaderisasi) adalah hal prinsipiil bagi sebuah bangunan organisasi.
PNI Pendidikan mengumpulkan satu demi satu para akfitis pergerakan yang tersisa, dan membinanya dengan pembinaan rutin seminggu beberapa kali. Hatta dan Sjahrir terjun langsung dalam pembinaan itu, bahkan, mereka berdua berkeliling Pulau Jawa, dimana terdapat cabang-cabang dari PNI Pendidikan, untuk memberikan pembinaan secara intens dan langsung. Hatta sendiri jugalah yang menyusun kurikulum materi pergerakannya, berikut siapa saja mentornya. Tanpa segan, Hatta juga memasukkan pledoii Bung Karno, Indonesia Menggugat, sebagai salah satu referensi bacaan bagi kader PNI Pendidikan. Nanti, setelah kader-kader itu selesai ditentir oleh Hatta dan dinilai layak lulus, mereka sendiri yang akan menggantikan tugas Hatta sebagai seorang Mentor, sehingga Hatta dapat fokus pada tugas pengembangan organisasi dan hal-hal strategis lainnya.
Sedikit Kegiatan Intelektual Hatta
Di samping sebagai seorang aktifis pergerakan yang militant dan idealis, jangan lupakan fakta bahwa Hatta seorang intelektual yang mumpuni. Ekonomi adalah focus studinya, Hatta adalah pembaca buku yang tekun. Dalam otobiografinya, ia menuliskan bahwa dirinya memiliki kebiasaan mengatur waktu dirinya sendiri sedetail mungkin setap harinya, missal, pukul berapa dia harus bangun, pukul berapa dia harus keluar rumah, pukul berapa dia harus membaca buku dan membuat resume setelahnya, hingga kemudian dia beristirahat di malam hari, cermatnya, semua time schedule itu selalu ditepati Hatta! Di bidang ekonomi, selain mendapatkan pengajaran dari kampusnya, dia juga selalu mengoleksi buku-buku terbaru seputar bidang ekonomi, berapapun harganya! Hal ini penting agar dirinya selalu up to date tentang masalah-masalah ekonomi kontemporer. Kemudian, Hatta juga melakukan tugas research secara mandiri, dia meneliti sistem perekonomian Negara-negara di eropa, khususnya Finlandia, untuk dia kembangkan kepada Tanah Airnya kelak. Hasil research-nya inilah yang dikemudian hari membidani kelahiran konsep koperasi di Indonesia. Dan dirinya sendiri didaulat sebagai ‘Bapak Koperasi Indonesia’.
Hatta adalah seorang pembelajar sejati. Ia juga membekali dirinya sendiri dengan ilmu-ilmu lain, disamping ilmu ekonomi tadi. Seperti ilmu hukum (semasa di Belanda, Hatta membaca secara sistematis buku-buku bertemakan hukum, termasuk buku tulisan Prof Kranenberg tentang Tata Negara. Hatta juga memanfaatkan waktu luangnya untuk menghadiri kuliah-kuliah singkat tentang hukum di universitasnya). Kemudian ilmu politik (bidang ini Hatta geluti bukan saja melalui perjalanan intelektual lewat buku-buku, namun juga melalui terjun langsungnya Hatta kedalam aktifitas politik praktis semasa di Belanda). Dan juga filsafat (dibuktikan dengan terbitnya sebuah buku karangan Hatta sendiri yang berjudul “Alam Pikiran Yunani”, buku ini menjadi best seller di masanya).
Aktifitasnya di bidang tulis-menulis juga dapat dihitung sebagai aktifitas intelektual lainnya. Begitu banyak karangan-karangan Hatta yang terserak diberbagai macam media cetak nasional, baik sebelum kemerdekaan, maupun setelah merdeka. Cirikhas tulisannya yakni, selalu memiliki landasan keilmiahan yang baik. Berbeda sekali dengan karakter tulisan Soekarno yang sangat agitatif dan terkesan pop, tulisan Hatta begitu akademik. Membacanya membutuhkan kesabaran dan pencernaan yang baik. Bobot tulisannya sangat berat, dan sistematis. Cirikhas ini semakin tajam, ketika Hatta menanggalkan jabatannya sebagai Wakil Presiden Indonesia. Beberapa judul tulisannya yang lahir setelah masa itu, seperti “Mendayung di antara Dua Pulau”, atau “Demokrasi Kita”, adalah bukti bahwa Hatta memiliki nalar akademik yang baik, meskipun, dia tidaklah bisa dikategorikan sebagai seorang akademisi dalam pakem terminology umumnya.