Tinggalkan komentar

Belum Ada Judul II

Semua orang terlihat berjalan cepat menuju kampus, begitu juga aku. Di tengah musim dingin kota Moskow, kita harus banyak bergerak untuk menghangatkan badan. Salah satunya dengan jalan cepat. Kebetulan di dekat pintu masuk fakultas, aku berpapasan dengan Nikolai. Segera dia menyapa dan memelukku dengan hangat. Kemudian menjabat tanganku.

“kau nampak tidak jauh berbeda dengan terakhir kali kita bertemu di Jakarta. Masih terlihat sendu, Raka. Apa dia masih mengganggumu?” pertanyaan tipikal orang Eropa; selalu to the point.

“yeah, aku sedikit demi sedikit mulai membenci perubahan itu sendiri, nic” sautku. “untuk masalah yang lebih personal, ada baiknya kita membicarakannya di ruanganmu. Di sini begitu dingin” ujarku mengelak.

“baiklah, kau benar. Ruanganku ada penghangatnya. Kita bisa ngobrol sampai siang jika kau mau. Waktuku sepenuhnya untukmu hari ini” nikolai memapahku menuju ruangannya.

Sebagaimana ruangan seorang akademisi, nikolai juga begitu. Menghiasi ruangan kerjanya dengan deretan buku. Rak-rak buku itu hampir mengelilingi ruangan Nikolai. Ruangan kerja namun bernuansa perpustakaan.

“aku suka ruanganmu, nic. Kau harus membantuku untuk menghias kamarku dengan model seperti ruanganmu ini. Bantu aku menemukan toko buku yang murah di Moskow ini.”

“tentu, kawan. Moskow adalah surganya para kolektor buku. Dengan mudah kau akan mengumpulkan koleksi bukumu, dan harganya sangat terjangkau.” Nikolai tidak keberatan.

“jadi, di samping masalah temu-kangen ini, hal apa yang ingin kau sampaikan secara personal denganku, nic?” aku bertanya langsung padanya.

“haha. Kau juga tak berubah. Selalu to the point. Singkatnya, aku tengah mengerjakan proyek seperti waktu dulu dalam beberapa bulan terakhir. Aku hendak menerbitkan kumpulan essai-ku di Indonesia. Dan tentu hanya kepadamu aku bisa mempercayakan masalah penerjemahannya, kan?” ujar Nikolai bertanya.

“bukankah essai-mu itu belum diterbitkan juga di sini?” aku memastikan.

“ya, benar. Maksudku, aku ingin menerbitkannya secara berbarengan, baik di Rusia dan juga di Indonesia. Penerbitan kumpulan essai ini juga adalah bagian dari program kerjama sama budaya antara Negara kita berdua. Aku sudah menghubungi duta besar, dan mereka menyukai tulisanku.” Nikolai menerangkan.

“oya? Wah, kau sungguh mujur, kawan. Baiklah. Aku tak perlu pikir panjang untuk menerimanya. Tulisanmu selalu menjadi favorite-ku. Nic.” Ujarku segera.

“terima kasih, raka. Tapi ada satu syaratnya” ujar Nikolai.

“syarat? Maksudmu?” aku ingin tahu.

“kau harus bekerja sama dengan rekanku dalam mentranslasi karyaku. Sebab, dialah yang meyakinkanku untuk mengerjakan proyek ini, dan menghubungi kedubes Indonesia dan Rusia untuk mendukung karyaku” ujar nikolai.

“baiklah kalau begitu. Selama kami berdua bisa bekerja sama dengan baik” aku menanggapi. Namun sedikit terusik dengan syarat yang diminta oleh Nikolai tadi. Siapakah orangnya.

deal, ya?” ujar Nikolai sambil mengulurkan tangan kanannya.

“deal” ujarku segera mengulurkan juga tangan kananku, dan menjabat tangannya.

“jika sesuai janji, rekanku itu akan datang sebentar lagi ke ruangan ini.” Nikolai menyeka lengan bajunya, dan melihat jam yang ada di tangan kanannya. Sesaat kemudian, Nikolai menelpon asistennya di luar ruangan, memesan kopi hangat tiga buah agar segera dibawa ke dalam ruangannya.

“kau tahu Raka, aku menikmati karyamu yang kau tulis di Blog” ujar Nikolai tiba-tiba.

“maksudmu? Blog pribadiku?” aku sedikit terkejut. Bukankah blogku ku tulis dalam bahasa Indonesia semua? Bagaimana bisa nikolai menyukai tulisanku di blog, jika kutulis dengan bahasa Indonesia.

“ya, blogmu. ” ujar nikolai lagi.

“memangnya kau bisa berbahasa Indonesia?” aku bertanya penasaran.

“tentu tidak. Tapi, beberapa waktu lalu, ada seseorang yang menerjemahkan karyamu ke dalam bahasa inggris, dan menerbitkannya di majalah Literary Today. Ini sudah kali ke lima tulisanmu muncul disana. Dijelaskan bahwa tulisanmu itu dia terjemahkan dari blogmu.” Nikolai tersenyum.

“aku menebak, pastinya dia adalah seorang Indonesia, ya? Atau seorang indonesianist?” aku mulai penasaran dengan kata-kata yang keluar dari mulut nikolai ini.

Setahuku, aku tidak pernah memberikan izin kepada siapapun di dunia ini untuk menerjemahkan tulisan-tulisanku di blog. Apalagi sampai mempublikasikannya di sebuah jurnal yang cukup representasi untuk ukuran majalah sastra dunia. Aku berada diantara perasaan bangga dan marah. Bangga karena tulisanku diterbitkan disana, sekaligus marah, sebab penerjemahan dan penerbitan itu tidak dilakukan sepengetahuanku.

Tak lama berselang, pintu diketuk oleh seseorang dari luar.

“silahkan masuk” Ujar Nikolai.

“selamat pagi” ujar seseorang yang suaranya aku rindu itu tiba-tiba.

“nah, ini dia. Nia. Kami baru saja membahas tentangmu. Perkenalkan, ini Raka, tentu kau juga sudah kenal dengannya, bukan?”

Aku dalam posisi duduk pada meja kerja dan berhadapan dengan Nikolai. Posisiku sebenarnya membelakangi pintu tempat pemilik suara yang kurindu itu masuk. Aku ragu, antara harus seketika langsung menoleh ke pemilik suara itu, dan bersikap terkejut seolah-olah kami sudah kenal, dengan sambutan yang hangat selayaknya kami berdua adalah teman lama, atau harus menahan diri untuk tidak menoleh, berlagak tidak mengenal pemilik suara itu, berlagak bego dan pura-pura tidak mengerti alur cerita yang disusun oleh Nikolai, dan menyalami jemarinya dengan salaman yang dingin.

Pada akhirnya aku memutuskan opsi yang kedua.

“ya tentu, kami berdua kenal” suara itu kudengar mendekat. Tangannya singgah di pundak kananku, dan dia langsung mengambil tempat duduk tepat di sebelah kananku.

“Raka lah yang mempermudah proses penulisan skripsiku di Jakarta, dan banyak memberikan masukan mengenai karya sastra Rusia. Dia begitu terinspirasi dengan Gorky, sebenarnya Nic.” Nia bersikap hangat, dan begitu friendly. Dia langsung masuk ke dalam percakapan kami tanpa perlu membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan suasana yang begitu sesak ini.

Aku terdiam. Belum bisa mengatur irama jantungku dan juga mengkontrol emosi di dalam dadaku sendiri. Kedatangan Nia begitu tiba-tiba. Jujur, aku tidak memiliki persiapan untuk bertemu dirinya secepat ini. Berikutnya, kalimat yang meluncur dari mulutku, kurasa begitu singkat, dan patah-patah.

“ya, begitulah” ujarku membenarkan pernyataan Nia.

“oh, benarkah, Raka? Aku terkejut jika Gorky adalah novelis yang kau suka. Sebab, gaya menulismu, yang diterjemahkan langsung oleh Nia, menurutku cenderung seperti Marquez. Bergaya realisme magis. Juga dengan sentuhan gelap yang begitu pekat, ala Dostoyevsky, Sabato, atau Camus.” Ujar Nikolai menanggapi.

Aku belum lagi mampu mengikuti percakapan yang tiba-tiba ini. Belum ada lagi kalimat yang meluncurr dari mulutku untuk menyeimbangi kedua orang di ruangan ini. Otakku sepertinya terkena virus yang membuat semuanya perlu di restrart.

“kau tau nic” ujar Nia mencoba memecah kebisuan.

Aku baru sadar jika Nia juga rupanya memanggil Nikolai dengan panggilan Nic. Padahal seingatku, nikolai pernah mengatakan bahwa hanya aku yang memanggil nikolai dengan panggilan nic di dunia ini. Lebih banyak orang memanggil namanya dengan sebutan nama belakangnya, bukan nama depannya.

“setidaknya, ada lima buah cerpen yang pernah ditulis Raka dalam blognya dengan gaya menulis mirip Gorky. Tapi itu dilakukannya ketika kami masih sama-sama kuliah di Jakarta. Waktu itu kami masih menjadi aktivis. Mungkin, karena pengaruh itu, gaya menulis Raka sangat ke Gorky-gorky-an. Begitu bersemangat, meletup-letup, dan patriotik. Jujur, aku juga merindukan Raka yang seperti itu” ujar nia bersemangat. Sebuah kalimat yang membuatku merasa tengah dilemparkan ke sebuah sumur yang begitu dalam.

Aku lagi-lagi belum mengeluarkan sepatah-katapun.

“benarkah? Akan sangat baik jika kau juga mau menerjemahkan cerpen itu untukku, Nia. Aku dengan senang hati menerbitkannya di Rusia” ujar Nikolai bersemangat.

“tentu saja, Nic. Asal penulisnya sendiri mengijinkannya. Karena sebelumnya, aku menerjemahkan tulisan-tulisannya tanpa seijin dirinya. Dan aku yakin dia juga baru kau beri tahu bahwa akulah yang mempublikasikan karyanya di sini.” Ujar nia hati-hati.

“bagaimana menurutmu, raka?” Nikolai menimpali.

Aku hanya memberikan anggukan kepala dua kali tanda setuju. Tentu sambil tersenyum yang sedikit kecut.

Harus ku akui, ya, aku berada diantara kesal dan bahagia dalam situasi ini. Aku kesal, karena mengetahui bahwa Nia masih bisa bernafas dengan lancar, menjalani hari-harinya seperti sedia kala, mengerjakan proyek-proyek sastranya dengan baik, meski tanpa diriku disisinya. Meski bukan aku lagi yang menjadi ‘lelakinya’. Aku benci untuk yang ini. Dalam logika hidupku, akulah yang seharusnya menjadi pusat kehidupan orang di dunia ini, termasuk Nia. Bukan sebaliknya. Orang-orang, termasuk Nia, harus bergantung denganku. Setidaknya, hidupnya berjalan tidak normal jika mereka mencoba untuk independen, dan memiliki pikiran untuk terbebas dari diriku.

Aku mengakui bahwa aku memiliki kepribadian yang cukup dominan. Dalam segala hal. Tapi, ketika aku bertemu Nia, secara perlahan otoritas itu menjadi tidak relevan. Aku yang lebih sering tunduk dengan logika hidupnya. Aku yang lebih sering menuruti tujuan-tujuan hidupnya. Aku juga perlahan-lahan mulai terbiasa dengan selera hidupnya; cara berpakaian, jenis music, jenis bacaan, selera makanan dan minuman, hidup dengan sangat disiplin dan focus, itu semua adalah ‘cara hidup Nia’. Kepribadianku tersedot oleh kepribadian dirinya.

Tapi anehnya, selama aku dapat berada disamping dirinya, aku tidak pernah keberatan untuk menurunkan sedikit egoku.

Tapi, kuakui juga, aku bahagia. Bertemu dengannya, membuat rasa kesal ini terasa menjadi tidak relevan. Meskipun aku sadar, ada jarak yang jelas antara aku dan dia; dia, nia, sudah bertunangan. Hal yang selama ini terus kuteriakkan kepada diriku sendiri, agar tergerak untuk tidak mengingat-ingat lagi dirinya.

Tinggalkan komentar