Tinggalkan komentar

Kegaduhan Mesir

latar Belakang Masalah

Januari 2011 adalah waktu yang bersejarah bagi warga Mesir. Di bulan itulah, dimulai sebuah gerakan yang sangat mempengaruhi sejarah Mesir ke depannya. Gerakan people power yang dimotori oleh kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) mencoba untuk menurunkan Presiden Mesir saat itu, Housni Mubarak, dari kursi kekuasaannya. Gerakan people power ini memakan waktu berbulan-bulan, hingga pada akhirnya, kekuasaan Presiden Housni Mubarak, benar-benar jatuh. Kejatuhan Mubarak dari kursi presiden, bukannya tanpa alasan. Mubarak yang sudah berkuasa sebagai presiden Mesir dalam rentang waktu hampir 33 tahun, bukanlah tipikal presiden yang demokratis dalam artian substansial. Dia, Mubarak, justru menjalankan roda pemerintahannya sebagai Presiden Mesir itu dengan sangat otoriter dan represif. Memberondong dan memusnahkan semua musuh politiknya, kelompok oposisi yang bersebrangan kebijakan dengan dirinya –termasuk kelompok IM- dengan sangat keras. Ditambah, situasi nasional yang tidak stabil dikarenakan adanya chaos dibidang ekonomi, politik, keamanan dan juga social, semakin menguatkan alasan para demonstran untuk menggusur Mubarak dari kursi presiden.

Setelah kejatuhan Mubarak dari kursi kepresidenan, dimulailah episode baru kehidupan bernegara bagi Mesir. Pemilu legislative-pun digelar. Hasilnya, partai yang berafiliasi dengan IM, Freedom and Justice Party (FJP) menjadi pemenang pemilu dan dihadiahi kursi ketua legislative pusat. Setelah itu, berturut-turut digelar juga pemilihan presiden Mesir, pemilihan yang berlangsung dua babak itu, menghasilkan Mohammad Morsy (yang juga berafiliasi dengan IM dan berasal dari FJP) sebagai Presiden Mesir menggantikan Mubarak. Pemilihan legislative, dan juga presiden ini, sesungguhnya adalah pemilihan demokratis pertama yang pernah digelar oleh Negara Mesir.

Setelah Morsy dilantik menjadi Presiden, dan menjalankan tugas-tugasnya, pro-kontra terhadap performa kerja dirinya sering kali dibahas oleh media-media local Mesir yang sesungguhnya rata-rata loyalis Mubarak (status quo). Pada dasarnya, yang sering menjadi bahan kritikan terhadap performa kerja Morsy adalah karena obsesi Morsy yang begitu besar untuk memasukkan aturan-aturan syariah islam ke dalam system perundang-undangan Mesir. Dan itulah yang menjadi titik baliknya (turning point). Isu yang begitu sensitive tersebut, ditambah dengan realitas politik Mesir yang masih begitu didominasi oleh loyalis Mubarak, pada akhirnya menjadi pangkal berlangsungnya kudeta (coup d’etat) yang dilancarkan oleh militer terhadap pemerintahan Morsy. Kudeta yang dipimpin langsung oleh Jendral Al Sisi, Menteri Keamanan Mesir yang juga berlatar belakang militer, dan loyalis Mubarak, benar-benar menggulingkan pemerintahan Morsy yang legitimate tersebut. Meskipun, beredar berita yang dirilis oleh media-media internasional bahwa penyebab dilakukannya kudeta tersebut dikarenakan ketidak mampuan Presiden Morsy untuk memimpin Mesir dalam situasi transisi menuju reformasi demokrasi tersebut. Namun, jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya, akarnya tersebut adalah benturan ideology (clash of ideology) yang terjadi antara kubu islamis pada satu sisi (yang diwakili oleh IM) dan juga kubu liberalis, sekularis, dan juga militer pada sisi lainnya.

Terjadi kerusuhan di sana-sini di beberapa titik kota strategis Mesir, seperti kota Kairo, Ismailiyyah, dan Rabiah Al-Adawiyah. Kerusuhan tersebut, jika kita zoom dengan jarak yang lebih dekat, sesungguhnya terjadi antara demonstran pro Morsy dan juga demonstran anti-Morsy. Militer melakukan pendekatan dengan cara-cara kekerasan dalam menanggapi demonstran pro-Morsy. Ratusan demonstran ditangkapi. Dalam keadaan yang penuh ketidak pastian tersebut, ide tentang reformasi Mesir pasca Mubarak, seperti menjadi utopia. Dengan adanya kudeta yang didalangi oleh liberalis, sekularis, dan juga militer ini, masa depan demokrasi Mesir kini kian tidak tentu arah.

Klimaks dari semua fragmen tadi adalah, pemerintahan kudeta, mengadili para demonstran pro-Morsy itu dengan vonis bersalah terhadap keamanan negara, dan dihukum mati. Yang menjadi aneh adalah, pengadilan itu dilangsungkan sebanyak satu kali persidangan. Terdakwanya berjumlah 683 orang laki-laki. Dan juga yang lebih mengherankan, terdakwa tidak diberikan hak satu kalipun oleh hakim untuk melakukan pembelaan-pembelaan terhadap dirinya sendiri. Latar belakang inilah yang pada akhirnya membuat penulis tertarik untuk menuliskan makalah ini.

  1. Rumusan Masalah

Yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalah;

  1. Apakah vonis hukuman mati terhadap 683 laki-laki yang dilakukan oleh majelis hakim Mesir tersebut melanggar aturan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang diatur dalam Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM) yang di sepakati di Jenewa pada tahun 1948 ?
  2. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk mengetahui, apakah vonis hukuman mati terhadap terdawa sejumlah 683 orang laki-laki itu melanggar aturan HAM Internasional seperti yang telah termaktub di dalam DUHAM PBB tahun 1948 di Jenewa atau tidak. Sehingga, dengan mengetahuinya, kita bisa menjadikan kejadian yang ada di Mesir ini sebagai pembelajaran bagi negara kita, Indonesia, dalam rangka penegakkan HAM yang lebih konsekuen. Dan juga sebagai referensi dalam dunia kepenulisan.

Tinggalkan komentar