Pesawat itu pergi menjauh. Mengangkasa. Tinggi, menggantung di awan, selayak lelayang yang membelah udara. Pertama, mesin terbang itu berlari kencang di landasan pacu. Kemudian menaiki tangga langit. Setelah itu mengecil. Menjadi titik. Dan, yang tersisa hanya asap-asap jelaga hatiku yang patah. Sementara, aku menangisi kepergiannya ke Moskow, di atas sana, tepat di lambung burung raksasa yang mengangkut ratusan manusia lainnya di dalamnya, aku mematung diam. Meremas erat-erat kepedihan hatiku di kepalan tangan.
….
Satu tahun, setelah aku patah hati di bandara Soekarno-Hatta, aku langsung mendaftarkan diri di program pasca, jurusan sastra. Aku melanjutkan hidup. Dua tahun cukup bagiku kuliah di sana. Lima puluhan cerita pendek, sekian ratus puisi, delapan buah novel, menjadi out put luka hatiku. Dan kesemuanya dengan tema yang sama; patah hati. Orang-orang dekatku, pada awalnya mengapresiasi karyaku itu. Namun, setelah sadar bahwa yang aku tulis kesemuanya dengan tema yang serupa, mereka berbalik mengkritik. Walau, mayoritas dari mereka juga sebenarnya tetap berkomentar bahwa tulisan-tulisanku itu selalu enak dibaca. Memang temanya sama, namun dengan cara penulisan, cerita, dan alur yang selalu berbeda-beda.
Di lemari pribadiku, terpajang dua puluh piala penghargaanku –secara personal- di bidang sastra. Berkat itu juga, aku dijuluki the new Sapardi oleh media SastraJiwa. Berkat semua itu, aku juga langsung mendapat penawaran beasiswa full, untuk memperdalam kemampuanku ke Moskow. Aku senang, sekaligus ragu. Moskow, makin pedihkah nanti hatiku jika ke sana?
…
“Bagaimana, baguskan tetralogi Buru-nya Pram?” ujar Aidit kepada Raka.
“Wajar, kalau Pram sepanjang hidupnya lebih banyak di kurung di dalam penjara. Karyanya begitu provokatif untuk ukuran zamannya, dit.” Jawabku sambil tidak memalingkan mata dari buku yang berjudul “Arus Balik”.
“oh iya ka, aku mau pinjam les miserables-mu ya. Penasaran nih.” Aidit mengambil sebuah buku novel kolosal dari rak buku ku. Setelah mendapatkannya, dia segera minta diri, pamit pergi ke dalam kamarnya yang tepat di sebelah kamarku.
Adit seorang teman satu kos, namun beda kamar. Dia anak sastra juga, bekerja sebagai wartawan. Dia punya minat dalam dunia sastra latin. Marquez dan Neruda diantaranya. Menurutnya, sastra latin unik. Mereka, para sastrawannya, seolah tidak perlu repot-repot untuk mengusung nasionalisme tanah airnya dalam setiap cerita-cerita mereka. Hal yang berbeda dengan karya dari Rusia, Jepang, atau Tiongkok.
Setelah kedatangan Aidit, kamarku kembali hening. Tinggal aku dan “Arus Balik”. Keadaan seperti ini; membaca buku novel, duduk di meja kerja, sembari ditemani kopi tubruk hangat di gelas bertangkai merah, adalah keadaan yang selalu kupilih jika aku selesai menjelajahi blog dirinya; sastrapahit. Rutin memang, setiap seminggu dua kali, aku mengikuti perkembangan di dalam blognya tersebut. Terakhir, tulisannya yang berjudul “Bintang Bulan” begitu berasa di dalam hatiku. Tulisan yang seolah tertuju untuk diriku. Walau kemudian aku cepat-cepat menepis pikiran seperti itu.
Terlintas memikirkan tulisan itu, membuatku terganggu untuk khidmat “menghabisi” Jejak novel tadi. Pikiranku, dan konsentrasiku, malah mengembara ke kota Semarang. Kota di mana semua kisah pahit ini dimulai.
Dalam keheningan, aku berjalan ke arah rak buku. Kutarik buku berjudul “The Rebel”nya Camus. Kusisir lembar demi lembar halamannya. Mencari photo “dirinya”. Photo yang masih dengan ekspresi mencintaiku. Photo yang sengaja kuselipkan di dalam novel tersebut. Novel pemberiannya. Sambil berujar, “memberontaklah dengan matang, namun tetaplah lembut tanpa melupakan perasaanmu sendiri…”
Aku terkenang peristiwa dimana aku memperjuangkan agar jurusan sastra menolak pencalonan seorang dosen sebagai dekan. Dan aku memang berhasil menggiring teman-teman untuk menggagalkan pencalonan dosen tersebut, yang kami nilai terlalu oportunis. Mungkin juga serakah. Meski konsekuensinya, dia membantaiku di sidang akhir, dan aku urung menerima kalung ‘cumlaude’ di akhir perjuangan akademikku. Tapi aku tidak menyesalinya.
…
Aku duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta. Duduk, menggenggam espresso hangat, sambil mendengari Love of my life-nya Queen. Suara Freddy Mercury meliuk lincah memenuhi telingaku. Kemudian, mataku terpejam. Menenangkan diri. Perjalanan ke Moskow, dengan kemungkinan lamanya aku tinggal di kota itu selama 2 sampai 3 tahunan untuk program PhD, juga kemungkinan bertemu dia, membuatku tidak nyaman. Aku resah, diimbangi degupan jantungku yang kian menjadi-jadi. Saking keras dan kencangnya degupan jangtungku, suara orang lalu-lalang, pengumuman dari pusat informasi penerbangan, malah tak terdengar. Diam tak bersuara. Di telingaku, bukan lagi Freddy yang berkumandang, namun suara jantung yang tak beraturan. Pelan-pelan, kenangan dengan dia mulai berkelebat di dalam kepalaku.
…
Namanya Nia. Gadis ayu yang sedari tadi membuatku gelisah. Atau mungkin lebih tepat…. ‘tak bernyawa’. Kami bertemu di pelataran Perpustakaan UI. Aku menyeruput kopiku, dan dia mendengarkan sesuatu melalui headset yang menempel di telinganya. Kulihat itu terhubung ke hand phonenya.
Langit waktu itu tengah memanen awan. Cuacanya cerah. Di dalam kepalaku, aku memutar lagu The Beatles-Black bird. Ini sudah menjadi kebiasaan. Aku menyanyikan lagu-lagu kesukaanku di dalam bathin. Seolah-olah suara Lennon, bergaung-gaung di kepalaku. Aku juga pada awalnya tidak memperhatikan dia. Aku hanya duduk santai menikmati kopiku sore ini. Hadiah bagi diri sendiri karena telah menamatkan sebuah novel tebalnya Eka, Beauty is Wound. Sampai kemudian, tiba-tiba dia telah duduk di hadapanku. Berbasa-basi, dan menceritakan kesannya tentang novel yang tergeletak di sebelah cangkir kopiku, “Pasar Malam”.
…
Sebulan setelahnya, kami menjadi akrab. Terlibat banyak diskusi –berdua saja- tentang novel-novel Pram, Eka, dan Camus. Baginya, ketiga novelis itu adalah gerbang awal dirinya mengenal sastra dunia. Tapi, tidak bagiku. Aku justru tidak begitu tertarik tentang sastra. Aku hanya penikmat novel. Dan kebetulan, aku memang akrab dengan nama-nama tersebut.
Rupanya dia juga satu jurusan denganku. Adik tingkatku, lebih tepatnya. Menjadikan Chekov dan Tolstoi sebagai bahan skripsinya dengan menggunakan metoda komparasi. Kebetulan, aku juga penikmat sastra rusia. Di samping nama-nama tadi, ada nama seperti Dostoyevsky dan Gogol, beberapa novelis rusia yang kusukai karyanya. Dan koleksiku komplit. Maka, terpaksa aku menjadi ‘pembimbing skripsi’ un official bagi dia. Aku senang-senang saja.
Bulan kedua, aku jatuh cinta.
Bulan ketiga, kami menapaki sebuah hubungan yang lebih ‘dewasa’. Meski tanpa kata ‘cinta’ sepanjang perjalanan kisah kasih kami. Kami biasa berjalan bersama. Mendendang lagu bersama. Berjuang bersama di Grup Diskusi UI (GD UI) dalam menumbangkan dosen yang ku singgung di atas tadi. Dan saling berbalas surat setiap minggunya, meski kediaman kami sebenarnya berada di kota yang sama.
Bulan kedua belas, kasih kami sepertinya mau kandas. Dia tertarik melanjutkan study ke St Peters Burg. Dia tamat lebih dulu, aku sedikit terlambat, karena konsekuensi dari aksi yang ku gagas waktu itu. Aku tak rela. Aku menjadi tidak dewasa. Dan dia tidak perduli. Dia memang wanita yang berorientasi pada karir, dan fokus dengan tujuannya. Harus ku akui, itulah daya tariknya selama ini.
Bulan ketiga belas, aku mendengar kabar bahwa dia bertunangan. Hatiku hangus terpanggang kenyataan. Asapnya mengepul di dalam genggaman jemari tanganku. Aku membanting tiga buah gelas kaca. Gelas yang bertuliskan namanya dan namaku.
Bulan kelima belas, aku berangkat menyusul dirinya. Mengetuk pintu flatnya. Tiba-tiba memeluknya. Dan sadar, bahwa dia bukan lagi Nia yang dulu. Pelukan yang dingin. Datar. Keberadaanku rupanya bukanlah kejutan baginya, kurasa lebih seperti ‘beban masa lalu’.
Aku menanyakan posisi hatiku di hatinya. Dia menjelaskan panjang lebar, bahwa hubungan kami selesai, begitu aku dan dia tidak sejalan tentang visi masa depan kami berdua. Kutanya, apakah selama berpisah, dia menderita? Dia menjawab dengan datar; tidak.
Hari kedua aku meninggalkan dia. Kemudian mematung di Gorky Park. Sorenya, aku kembali ke Jakarta. Tiga bulan kemudian, aku menyelesaikan kuliahku. Dan benar-benar memutuskan untuk melupakan Nia. Aku melanjutkan study magisterku di UI. Semakin produktif karena memanfaatkan rasa pedih di hatiku dengan sangat baik. Aku juga contributor tetap di majalah yang dia senangi, Sastra Kita. Aku mendiami rumah yang tepat berhadap-hadapan dengan rumahnya dulu ketika menyelesaikan skripsinya. Aku berpenampilan necis, seperti yang sering dia katakana kepadaku dulu.
Dua tahunan ini, memang ku akui ada begitu banyak paradoks dalam kehidupanku. Aku ingin melupakannya, namun menyimpan photonya. Aku ingin membencinya, namun menerima beasiswa ke Negara yang sama dengan dirinya. Aku ingin memaki dirinya, namun terus mendengarkan lagu-lagu miliknya. Dan masih sering duduk, meminum kopi, di tempat dimana kami bertemu dulu.
Adit mengatakan aku ini naïf. Tapi aku menyangkal bahwa itu tidak ada hubungannya dengan ‘dirinya’. Adit mengejek, bahwa aku seperti Romeo, yang tersesat dalam romantisme platonik. Aku mengatakan bahwa aku adalah Minke, yang bertumbuh dan dewasa karena rasa sakit.
Tapi setelah aneka debat tersebut, dalam renungan, aku membenarkan setiap perkataan Adit tadi. Aku memang bertumbuh dalam hal kehidupan sosial. Tapi aku mengerut secara kepribadian.
…
Moskow menyambutku dengan rintik hujan. Andrei menyambutku di pintu kedatangan. Segera menyalamiku, dan menggiringku ke taksi. Selama di mobil, kami langsung membahas persiapanku dalam menyelesaikan study Phd. Dia menjelaskan, Dean sudah lama menunggu kedatanganku. Besok pagi, ujar Andrei, Dean ingin aku menemaninya menikmati secangkir kopi secara personal di ruang kerjanya.
Aku memang sedikit dekat dengan Mr. Nikolai, Dean di fakultasku nanti. Tiga kali aku menerjemahkan cerpen dan novel karangannya ke dalam bahasa Indonesia. Pada waktu itu aku tidak memiliki pretensi apapun kepada Nikolai. Aku baca cerpennya, tanpa sengaja di internet. Menurutku sangat bagus. Aku kemudian tergerak untuk menerjemahkannya ke dalam blog ku. Dua bulan kemudian, email darinya datang, yang menawarkan proposal kerja sama untuk menerjemahkan karya-karyanya, dan mencarikan penerbit yang kredibel untuk menerbitkan dan memasarkannya. Aku pun tertarik dengan proposal tersebut. Tanpa keberatan, aku menerjemahkan karyanya. Enam bulan lebih aku menerjemahkan karyanya dengan tekun, di sela kesibukkanku menyelesaikan tesisku.
Hasilnya memang sangat impresif. Kumpulan cerpen Nikolai, dan dua novelnya yang diterbitkan secara berjeda, sangat laku di pasaran. Bahkan, aku kerap beberapa kali mewakili Nikolai, diundang beberapa kampus untuk membedah novelnya di hadapan para penikmat sastra Indonesia. Bahkan, dalam jamuan antara dubes Rusia dan Indonesia, yang membahas tentang saling bertukar budaya diantara kedua Negara, Nikolai mengundangku untuk datang, yang rupanya, di acara tersebut, Nikolai juga hadir dan memberikan penawaran beasiswa yang kemudian aku terima. Sebuah pengalaman yang menarik, menurutku.
…
Aku tinggal di sebuah flat yang nyaman. Bertingkat lima belas, dan aku tinggal di tingkat ke delapan. Yang aku suka, jendelanya menghadap ke gerbang kampusku. Lama aku mematung di samping jendela. Memikirkan banyak hal. Betapa cepatnya takdir menuntunku ke Negara ini. Negara yang ‘dia’ kagumi kemegahan karya sastranya. Kubuka sedikit jendela, dan menyesap sebatang sigarets dalam-dalam, dan menghamburkan asapnya. Berhamburan juga keteganganku di dalam dada seiring asap sigarets yang kuhembuskan itu. memang paling enak menyesap sigarets, di tengah cuaca yang begitu dingin di kota Moskow ini.
Aku baru tahu, jika rembulan di Moskow, lebih indah dibanding rembulan di Jakarta. Indah, karena dibingkai dengan perasaan yang merasa lebih dekat dengan kekasih yang kita cintai diam-diam.
Aku menghabiskan malam pertama di Moskow, dengan duduk terpekur di dekat jendela, dan berteman beberapa batang sigarets dan dua cangkir kopi beraroma musim dingin kota paling angkuh di jagat Eropa di abad millennium pertama. Pukul 7 pagi, aku membersihkan diri, dan bersiap menuju kantor Nikolai. Aku menggunakan setelan musim dingin. Melangkahkan kaki ke gerbang kampus dengan hati mantap.